Gedung Pakuwon, Sejarah Bisu Perjanjian Salatiga

Ave Neohistorian!

Perjanjian Salatiga adalah bagian dari Palihan Nagari Mataram uang melibatkan beberapa tokoh seperti Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa; sepupunya, Raden Mas Suryadi alias Sunan Pakubuwono III; dan pamannya, Raden Mas Sujono alias Sri Sultan Hamengkubuwono I, serta Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda (VOC).

Lahirnya perjanjian Salatiga sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari gejolak yang terjadi di Kerajaan Mataram terutama setelah dilaksanakanya perjanjian Giyanti. Perjanjian Giyanti dilaksanakan tanpa melibatkan Raden Mas Said. Oleh karena itu, Raden Mas Said menganggap bahwa perjanjian Giyanti adalah akal bulus VOC untuk memecah belah Kerajaan Mataram menjadi dua yakni Yogyakarta dan Surakarta.

Raden Mas Said berjuang sendirian dengan memimpin Pasukannya melawan Yogyakarta, Surakarta, dan VOC. Raden Mas Said dikenal sebagai seorang panglima yang tangguh dengan strateginya yakni jejemblungan, dedemitan, dan weweludan. Oleh karena itu VOC sangat kewalahan menghadapi Raden Mas Said.

Untuk meredam perlawanan yang dilakukan oleh Raden Mas Said, VOC menawarkan sebuah perjanjian yakni perjanjian Salatiga. Dipilihnya Salatiga sebagai kota perdamaian tidak lepas dari peran Nicolas Hartingh yang berperan sebagai mediator. Sebagai pemerhati budaya Jawa, dia tahu persis kota mana yang aman dalam wilayah kekuasaannya yakni Salatiga.

Perjanjian Salatiga dilaksanakan pada tanggal 17 Maret 1757 di Gedung Pakuwon yang hingga kini lokasi gedung tersebut berada di sebelah selatan alun-alun Salatiga yang bersebelahan dengan kantor walikota Salatiga. Berdasarkan pernyataan-pernyataan yang termaktub didalam perjanjian Salatiga, maka VOC, Surakarta dan Yogyakartasecara resmi mengakui kekuasaan Kearyapatihan Mangkunegaran yang memiliki pusat pemerintahan di sepanjang Kali Pepe dengan penguasanya, Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I. Walaupun menjadi salah satu penguasa Jawa namun Mangkunegara dilarang membangun alun-alun dan menanam beringin kembar, tidak boleh membangun balai witana dan dilarang duduk di singgasama dampar kencana.

-Rio Wibi Sumiyarno

Editor : Irene Monica

Sumber :

Hastuti, D. L. (2020). INDIS STYLE SEBAGAI REPRESENTASI KEKUASAAN. Gestalt, 147-156.

Hendro, E. P. (2020). Strategi Kebudayaan Perjuangan Pahlawan. Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi, 42-54.

Supangkat, E. (2012). Salatiga Sketsa Kota Lama. Salatiga: Griya Media.

Tjahjono, B. D. (2011). Mencari Identitas Kota Salatiga : Nuansa Kolonial Diantara Bangunan Modern. Balai Arkeologi Medan, 197-211.

Widiarto, T. (2021). HUBUNGAN PERJANJIAN SALATIGA 17 MARET 1757. NIRWASITA, 157-168.

Baca artikel lainnya

+ There are no comments

Add yours