Sejarah GP (Gerakan Pemuda) Ansor

Ave Neohistorian!

Gerakan Pemuda (GP) Ansor adalah sayap pemuda Nahdlatul Ulama yang berawal dari organisasi Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air) yang dibentuk oleh Mbah Yai Abdul Wahab Chasbullah pada 1924. Dalam sejarahnya, GP ANSOR beberapa kali berganti nama dari mulai Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), hingga Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO).

Seiring dengan maraknya Organisasi Kepanduan, ANO Cabang Malang, mengembangkan organisasi gerakan kepanduan sendiri yang disebut Banoe (Barisan Ansor Nahdlatul Oelama) yang kelak disebut BANSER (Barisan Serbaguna). Pada Kongres II ANO di Malang tahun 1937, Banoe berkembang menjadi organisasi semi-militer, bahkan instrukturnya pun adalah Mayor TNI Hamid Rusydi. Maka dibuatlah keputusan bahwa Banoe akan didirikan di tiap cabang Anoe. Pada masa Pendudukan Jepang, ANO dibubarkan oleh Dai Nippon. Baru pasca Indonesia Merdeka, ANO dan Banoe terlahir kembali sebagai GP Ansor dan Banser.

GP Ansor dan Banser memainkan peranan penting di penghujung Orde Lama. Ketua GP Ansor kala itu adalah Mbah Yai Imron Rosyadi, seorang diplomat yang memiliki darah keturunan Sunan Gunung Jati dari pihak ibunya. Mbah Yai Imron menolak berkompromi dengan sikap politik Soekarno yang didominasi oleh PKI sehingga ia dijebloskan ke penjara. Meski pemimpinnya dipenjara, GP ANSOR dan Banser justru membuktikan kualitasnya.

Mendekati tahun 1965, PKI melancarkan Teror Merah terhadap para Kiai dan Pondok Pesantren yang mereka juluki ‘Setan Desa’. Insiden Teror Merah yang paling brutal terjadi di Kanigoro (Kediri), Mojopanggung (Tulungangung) dan Kepung (Kediri).

Ansor dan Banser ikut serta bersama militer, melancarkan retaliasi. Bahkan dalam Operasi Pagar Betis di Kediri, tentara hanya menerjunkam 21 personil dan 20.000 orang lainnya adalah Banser. Pada tahun 1968, Banser juga terlibat dalam Operasi Trisula bersama Tentara untuk membasmi sisa PKI di Blitar Selatan.

Referensi:

Andi Rahman alamsyah dkk. Gerakan Pemuda Ansor: Dari Era Kolonial hingga Pascareformasi. Yayasan pustaka obor, 2018

Baca artikel lainnya

+ There are no comments

Add yours