Ave Neohistorian!
Pemuda Pancasila awalnya bernama Pemuda Patriotik, sayap kepemudaan dari Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang didirikan oleh tiga perwira TNI, yakni Ahmad Yani, A.H. Nasution, dan Gatot Subroto pada 28 Oktober 1959. Tujuan dibentuknya IPKI adalah untuk menangkal Ancaman Merah (Red Menace) dari Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menegakkan peran Pancasila sebagai ideologi negara yang sejati. Pemuda Patriotik kemudian diubah namanya menjadi Pemuda Pancasila seiring dengan berkembangnya sayap IPKI, yakni Buruh Pancasila, Tani Pancasila, dan Wanita Pancasila. Sejak awal Pemuda Pancasila dibentuk untuk melawan Pemuda Rakyat, Buruh Pancasila untuk melawan SOBSI, Tani Pancasila untuk melawan BTI, dan Wanita Pancasila untuk melawan Gerwani.
Setelah Orde Baru Berdiri, IPKI pun menjadi partai dan ikut serta dalam Pemilu tahun 1971. Namun, setelah itu terjadi perpecahan. Ketika IPKI bergabung dengan PDI, maka Pemuda Pancasila keluar dan bergabung dengan Golkar. Di era ini, muncullah tokoh-tokoh Pemuda Pancasila yang cukup terkenal seperti Ruhut Sitompul dan Yorris Raweyai. Pada tahun 1981, para tokoh Pemuda Pancasila dari Sumatera Utara seperti Faisal Abdullah, ML Tobing dan Effendi Nasution bertemu di Ancol dan sepakat untuk menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa di Cibubur. Dalam Munaslub itu, seorang bangsawan Keraton Mangkunegaran yang juga berdarah Yahudi bernama KRT Yapto Soerjosoemarno terpilih sebagai Ketua Umum Pemuda Pancasila yang baru.
Yapto adalah seorang visioner. Dibawah kepemimpinannya, Pemuda Pancasila merekrut anggota dari semua golongan dan bahkan bekerja sama dengan pemerintah serta pengusaha agar anggotanya bisa mendapat pekerjaan. Di luar hal itu, Pemuda Pancasila juga terlibat dalam Peristiwa Kudatuli di Kantor PDI. Yorris Raweyai mengaku diamanahi oleh Kodam Jaya agar menyiagakan orang-orangnya. Namun belakangan, Pangdam Jaya, Sutiyoso membantah memberikan instruksi tersebut.
Penulis: 陳 進 翰
Editor : Thomas
Sumber :
Lorn Ryter. Pemuda Pancasila : The Loyalist Free Man of Soeharto. 1998
+ There are no comments
Add yours